Menlu: Sampai Kapan Pun RI Tak Akui Klaim China atas Natuna

Jakarta – Indonesia menegaskan tidak akan pernah mengakui klaim China atas perairan Natuna. Sikap tersebut juga sudah disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Terkait nine dash line yang diklaim Tiongkok, sampai kapan pun juga Indonesia tidak akan mengakui dan apa yang disampaikan Pak Presiden bahwa itu bukan hal yang harus dikompromikan karena sudah jelas hak berdaulat kita sudah jelas,” ujar Menlu Retno Marsudi di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (6/1/2020).

Indonesia dan China merupakan anggota Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut disingkat UNCLOS. Indonesia berharap China mematuhi aturan yang ada.

“Apa yang ada? Antara lain mengatur masalah ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dan lain sebagainya sehingga ZEE penarikan garis yang terkait ZEE dan lain sebagainya yang Indonesia sudah sesuai. Kita hanya ingin Tiongkok mematuhi hukum internasional, termasuk di UNCLOS,” kata Retno.

“Pak Presiden menyampaikan kembali, pelanggaran di wilayah ZEE kita dilakukan oleh kapal-kapal Tiongkok,” imbuhnya.

Upaya diplomasi pun terus dilakukan antara kedua negara. “Tentunya komunikasi terus kita lakukan dan apa yang kita sampaikan, hal-hal yang sifatnya pasti akan didukung dunia internasional,” ujar Retno.

Situasi keamanan di Natuna, Kepulauan Riau, memanas setelah kapal coast guard China menerobos teritorial Indonesia.

China mengklaim berhak atas Natuna. China menampik putusan pengadilan internasional tentang klaim 9 Garis Putus-putus (nine dash line) di Laut China Selatan sebagai batas teritorial laut China tidak mempunyai dasar historis.

TNI Buka Suara Soal Provokasi

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen TNI Sisriadi menyatakan TNI tidak akan terpancing terhadap upaya provokasi yang dilakukan nelayan China dan kapal Coast Guard China yang masuk ke wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, Natuna Utara, Kepulauan Riau.

“Kita (TNI) tidak ingin terprovokasi. Mereka melakukan provokasi supaya kita melanggar hukum laut internasional itu sendiri. Sehingga kalau itu terjadi, bisa kita yang disalahkan secara internasional dan kita yang rugi,” kata Sisriadi saat memberikan keterangan pers di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Senin.

Saat ini, TNI juga masih akan berpegang teguh terhadap pedoman hukum laut internasional, yakni Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.

Masuknya kapal ikan China yang kemudian di-back up oleh China Coast Guard (CCG) di perairan Natuna merupakan salah satu bentuk upaya provokasi yang dilakukan untuk memancing reaksi dari TNI. Jika TNI sampai terpancing, maka justru bisa berakibat lebih merugikan.

“Kalau itu terjadi, bisa kita yang disalahkan secara internasional dan kita yang rugi. Oleh karenanya, para prajurit kita, mereka melakukan tugasnya dengan rules of engagement yang diadopsi dari hukum-hukum yang berlaku secara internasional,” ujarnya.

Karena itulah, dalam melaksanakan tugas pengamanan perbatasan di Natuna, TNI tetap akan menjalankan prosedur hukum internasional yang sudah disepakati bersama. TNI, dalam hal ini TNI AL dan AU tetap akan melakukan prosedur yang sudah disepakati secara internasional.

“Sebagai negara yang patuh kepada hukum-hukum internasional, kita melakukan kegiatan. Prajurit TNI AL dan AU melakukan operasi dengan aturan pelibatan yang berpedoman pada hukum laut nasional dan hukum laut internasional,” kata Jenderal bintang dua ini.

Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI Fraksi Partai NasDem Willy Aditya meminta pemerintah Indonesia tidak terpancing dengan langkah-langkah provokasi China terkait dengan polemik yang terjadi di perairan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.

“Pemerintah tidak boleh terprovokasi sehingga kita harus hati-hati melihat situasi yang berkembang di Natuna. Hukum laut internasional tidak memberi celah untuk terjadinya konflik yang mengeras dan berujung perang,” kata Willy di Jakarta, Minggu.

Menurut dia, apa yang dilakukan Coastal Guard China yang mengawal nelayannya masuk wilayah NKRI adalah upaya provokasi.

Selain itu, pernyataan Kementerian Luar Negeri China yang berkeras dengan konsep internalnya menunjukkan arogansi untuk memprovokasi Indonesia masuk dalam dispute internasional wilayah laut.

“China sangat tahu dan cukup cerdik membaca situasi yang ada dan kekuatan yang dimilikinya. Semua negara akan bersepakat untuk menghindari perang karena akan mendorong penyelesaian melalui mekanisme negosiasi. China punya pengaruh yang cukup untuk digunakan ‘memaksa’ Indonesia,” ujarnya.

Willy mengingatkan bahwa tahun depan akan ada persiapan periodic review UNCLOS yang bisa menjadi celah masuk China memasukkan isu-isu kelautannya.

Menurut dia, dalam catatan ratifikasi UNCLOS tahun 2006, China tidak memilih International Court of Justice (ICJ), International Tribunal, International Arbitral Tribunal, maupun Special Arbitral Tribunal sebagai upaya penyelesaian sengketa wilayah laut dengan negara lain.

“Namun, China memilih menggunakan perangkat yang disediakan pada Pasal 298 (Paragraf 1, a, b, dan c) UNCLOS yang pada intinya menunjuk juru damai dan langsung berhubungan dengan negara bersengketa. Itulah kenapa China tidak mengakui putusan arbitrase sengketa China dengan Filipina,” katanya.

Jika Indonesia belajar dari apa yang terjadi di Sipadan dan Ligitan, menurut dia, tidak perlu mengikuti provokasi China untuk menegosiasikan Natuna, tidak atas dasar ekonomi, investasi, atau sejenisnya. (mb/detik/cnn indonesia)

Pos terkait