Menangani Kasus Perceraian dengan Pendekatan Restoratve Justice di Hukum Acara Peradilan Agama

Menangani kasus perceraian dengan Pendekatan Restoratve Justice di Hukum Acara Peradilan Agama

Pangkalpinang, Detakbabel.com – Perceraian dalam kehidupan berkeluarga adalah hal yang dihindari oleh semua pasangan. Namun, dalam kenyataannya, banyak sekali pasangan yang harus menghadapi situasi ini. Kasus perceraian seringkali akan membawa konflik dan ketidaksepakatan antar pasangan suami-istri, bahkan dampak negatif bisa dialami oleh anak-anak yang terlibat di dalamnya. Dalam sistem hokum peradilan agama, perceraian dianggap sebagai suatu akhir yang harus dihindari. Oleh karena itulah perlu adanya metode alternatif dalam menangani kasus perceraian, salah satunya melalui pendekatan Restorative Justice.

Pendekatan Restorative Justice adalah pemulihan hubungan yang rusak dan mengembalikan korban ke posisi terhormat sebelum kejahatan terjadi. Ini tentu saja berbeda dengan pendekatan hukum tradisional yang lebih menekankan pada hukuman kepada pelaku dan menangani kasus berdasarkan aturan yang ada. Pada kasus perceraian, pendekatan ini dapat membuka ruang bagi pasangan suami istri untuk berbicara dan mencari solusi terbaik yang terhormat dan tidak merugikan pihak-pihak yang terlibat.

Kelebihan dari pendekatan Restorative Justice dalam penanganan kasus perceraian adalah ketika kedua belah pihak merasa puas dengan hasilnya. Biasanya, dalam proses hukum perceraian tradisional, kedua belah pihak cenderung saling menuduh dan merasa tidak puas dengan keputusan hakim sehingga ada kecenderungan terjadi persaingan yang tidak sehat antar pasangan. Dalam hal ini, Restorative Justice dapat membantu menangani ketidakpuasan antara kedua belah pihak. Kedua belah pihak dapat duduk bersama dan membicarakan masalah perceraian secara terbuka, dan mungkin saja analisa terhadap kondisi yang sebenarnya lebih mendetail dan dapat membuka ruang bagi saling pengertian sehingga membantu mencapai kesepakatan bersama.

Namun kekurangan dari pendekatan Restorative Justice dalam penanganan kasus perceraian adalah ketika salah satu atau kedua belah pihak tidak merasa puas dengan hasil dari dialog. Selain itu, Restorative Justice akan membutuhkan pihak mediator yang kompeten dan terpercaya, mungkin dalam hal ini pegawai yang memahami hukum agama dan psikologi serta dasar-dasar hukum perceraian. Hal ini agar nantinya proses Restorative Justice berjalan dengan adil dan tidak merugikan pihak-pihak yang terlibat.

Dalam kebijakan peradilan agama di Indonesia, pendekatan Restorative Justice belum diterapkan secara optimal terutama dalam kasus perceraian. Masih banyak orang yang belum mengenal Restorative Justice dan belum yakin apakah pendekatan ini sama seperti proses peradilan pada umumnya. Namun, penggunaan Restorative Justice dalam penanganan kasus perceraian dapat membawa banyak manfaat yang tidak seperti pendekatan hukum tradisional, terutama dalam membuka ruang bagi saling pengertian antar pasangan suami istri. Namun, harus disadari juga bahwa penggunaan Restorative Justice dalam sistem peradilan agama akan memerlukan sumber daya, pelatihan, dan regulasi yang jelas dari berbagai prosedur yang dilakukan dalam hukum peradilan agama.

Dasar hukum yang mendasari penggunaan Restorative Justice dalam penanganan kasus perceraian adalah Pasal 24C UUD 1945 yang mengatur mengenai hak dan perlindungan hak asasi manusia dari berbagai tindakan kekerasan dan tindakan diskriminatif. Kemudian, dalam hukum perzinahan atau mazhab Syafi’i disebutkan bahwa perceraian diperbolehkan jika suami istri sudah tidak dapat bersama lagi dalam keadaan baik dan saling menghormati. Selain itu, Restorative Justice juga mendapat dukungan dalam Molecular Rules of Indonesian Mediation yang menunjukkan pentingnya restoratif dalam mencapai keadilan dan harmoni dalam tindakan hukum.

Sebagai kesimpulan, pendekatan Restorative Justice di Hukum Acara Peradilan Agama dapat menawarkan sebuah alternatif bagi pasangan suami istri yang akan bercerai. Dengan Restorative Justice, bahkan ketika perkara perceraian sudah terjadi, pasangan suami istri masih dapat saling menyelesaikan masalah dengan cara yang terhormat dan saling menghargai. Namun demikian, untuk menerapkan pendekatan ini secara efektif, diperlukan adanya sarana dan prasarana, peningkatan kapasitas, dan regulasi yang jelas dari peraturan yang berlaku. Sehingga diharapkan kebijakan dalam hukum acara peradilan agama selalu berkembang dan selalu mengejar keadilan serta kebenaran.

Disusun: Muhammad Zulham

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *